Friday, July 10, 2015

Prosa Kopi


Matahari sudah berada tepat di atas kepala orang-orang, namun aku masih terduduk di salah satu sudut kafe di daerah Pecenongan. Sebuah pemikiran melayang-layang di waktu kritis; antara semangat dan sayup-sayup kelelahan di siang hari. Pemikiran yang muncul dari emosi yang terbakar, seperti semangat mereka yang terbakar oleh pancaran sang Surya.

Sambil mengarahkan mata ke monitor laptop, aku menantikan sebuah pesan dari seseorang yang misterius di seberang lautan. Alih-alih mengerjakan bagianku, aku membuka sebuah tulisan sederhana bertajuk Ujung Jalan.
Menunggunya di ujung jalan membuat setiap langkah yang diambilnya penuh makna.
Akhirnya penantianku akan dirinya selama ini akan berakhir bersambut dengan kehadirannya.
Meskipun dalam hati selalu bertanya: Apakah memang pantas dia untuk kunantikan?
Beberapa kalimat yang semakin menaikkan pemikiran emosional ini. Pandanganku teralihkan oleh kopi susu yang aku pesan. Satu sruput aku habiskan dalam beberapa detik sebelum aku melanjutkan layangan pandanganku ke alam lain, hingga aku kembali mempertanyakan "Apakah memang pantas dia untuk kunantikan?"

Teringat sebuah kisah mendung, di mana romansa yang pernah aku alami harus berakhir dengan perpisahan. Kala itu aku berkata dalam hati, "Belumlah aku menemukan kesetiaan seperti secangkir kopi ini. Kopi yang selalu meneriakkan rasa asam dan pahit. Tiadalah kopi yang lebih pahit daripada kenyataan yang pernah aku alami." Ah! Sekali lagi pemikiran dramatis yang bocah banget.

Semangat akan penantian itu kembali hadir, apalagi bagi dia yang akhirnya bersedia mengambil langkah yang penuh makna itu. Satu teguk untuk kedua kalinya mengakhiri pemikiran penuh emosi ini.

Jakarta, 10 Juli 2015
Untuk rekan seperjalananku (yang tidak jadi jalan), Ndari.

No comments:

Post a Comment

author
Yacob Ivan
Indonesian, Mathematician, Business Analyst, Android Developer, History-traveller | http://www.yacob-ivan.com