Notes ini meneruskan notesnya Wihikan Mawi Wijna yang berjudul [Goretan] .:. Wijna Nabrak Si Mbah. Tapi versi saya, hahahaha (Tidak biasa, bikin notes kok ketawa sendiri).
Tapi sebenarnya saya nggak perlu susah-susah nulis, soalnya baca aja yang di atas juga sebenarnya sama saja. Tapi pula tiada salahnya kalau saya menulis lagi punya saya.
Selasa, 15 Desember 2009 mungkin hari yang baru buat saya, soalnya saya terlibat dalam pencarian jejak candi (yang diduga satu rangkaian pula sama candi-candi di Jogja). Hari itu, saya berangkat bersama mas Wijna, sesosok lulusan S1-Matematika dengan gaya Arkeolognya yang khas. Berhubung ada sesuatu, yang harusnya berangkat jam 3 sore, akhirnya molor jam 4 sore (saya yang salah ni, biasanya gak gini kok).
OK, bersama mas Wijna dan sepedanya, saya berangkat dengan "Gray Raven" (tentu saja nama sepedaku). Kami mulai nggowes dan meniti karir menuju Jalan Kaliurang km 14,5. Tepat di dalam kampus UII Jakal, ditemukan adanya candi. Lokasinya cukup aneh, karena terletak di samping masjid UII. Jika Anda masuk dari gerbang UII, kemudian Anda akan menemukan masjid besar, cukup tengok kiri Anda sudah bisa melihat proyek penggalian candi itu.
Tapi sebenarnya saya nggak perlu susah-susah nulis, soalnya baca aja yang di atas juga sebenarnya sama saja. Tapi pula tiada salahnya kalau saya menulis lagi punya saya.
Selasa, 15 Desember 2009 mungkin hari yang baru buat saya, soalnya saya terlibat dalam pencarian jejak candi (yang diduga satu rangkaian pula sama candi-candi di Jogja). Hari itu, saya berangkat bersama mas Wijna, sesosok lulusan S1-Matematika dengan gaya Arkeolognya yang khas. Berhubung ada sesuatu, yang harusnya berangkat jam 3 sore, akhirnya molor jam 4 sore (saya yang salah ni, biasanya gak gini kok).
OK, bersama mas Wijna dan sepedanya, saya berangkat dengan "Gray Raven" (tentu saja nama sepedaku). Kami mulai nggowes dan meniti karir menuju Jalan Kaliurang km 14,5. Tepat di dalam kampus UII Jakal, ditemukan adanya candi. Lokasinya cukup aneh, karena terletak di samping masjid UII. Jika Anda masuk dari gerbang UII, kemudian Anda akan menemukan masjid besar, cukup tengok kiri Anda sudah bisa melihat proyek penggalian candi itu.
![]() |
| Lokasi penggalian candi |
Beruntung sekali kami masih bisa memasuki area penggalian itu, karena entah sebelum tapi pasti setelahnya, pintu itu sudah tertutup lagi. Kami agak kecewa karena mendapati lokasi penggalian sepertinya tertutup lagi oleh tanah. Menurut seorang bapak yang berada di sana, pada awalnya ditemukan sosok candi di tiga lubang, akan tetapi candi paling jelas tampak di lubang yang berada di tengah. Dari kecurigaan tersebut, akhirnya dilakukan proyek penggalian di sana-sini. Bisa-bisa kampus UII dibongkar deh. Jika candi itu tidak besar, maka candi itu mungkin tidak akan dipindahkan, mungkin diawetkan dan menjadi cagar budaya setempat. (Kampus keren, ada candi di dalamnya). Jika mungkin memang harus dipindah, akan dicari lokasi yang tepat untuk candi tersebut.
![]() |
| Salah satu lubang penemuan candi |
Tidak lama kemudian, pak satpam sepertinya sudah memanggil-manggil untuk penutupan lokasi. Kami pun akhirnya pulang dengan menyisakan rasa penasaran. Dari UII kami ke selatan, tidak jauh dari situ sekitar 1 kilometer, kami berhenti untuk minum es campur. Dengan meraih gocek sebesar Rp3.000,00 kami bisa mendapatkan satu porsi es campur yang berisi buah-buahan. Ada nangka, sawo, labu, nanas, kolang-kaling dan lain-lain. Sambil bicara ngalor-ngidul, ada satu topik yang menarik yaitu tentang Gereja Gothic Sayidan. Lokasinya sebenarnya bisa dibayangkan, tapi saya ingin mencoba ke sana, melihat dengan mata kepala sendiri.
Saya dibayarin sama mas Wijna. Gapapa lah, akhirnya kami meneruskan perjalanan pulang karena langit sudah mulai gelap. Sampai di Jalan Kaliurang km 9 - 10, terlihat sosok gemulai berjalan pelan. Siapa lagi kalau bukan orang. Nah, orang itu ternyata nenek-nenek yang berusia kurang lebih 60 tahun, sudah lebih dari separuh baya. Tanpa melihat ke arah belakang, nenek tersebut langsung menyeberang. Ketika kita berjalan menuruni jalan kaliurang, pasti lah roda kami berputar lebih cepat ketimbang ketika kita menaiki jalan kaliurang. Dengan menahan rem sedemikian rupa, mas Wijna masih menabrak nenek itu. Peristiwa itu tidak akan terjadi seandainya mungkin kita pulang agak terlambat atau nenek tersebut melihat ke arah jalan.
Peristiwa yang cukup ruwet ini menjadi tambah ruwet ketika ada seorang ibu-ibu di seberang jalan yang mendadak menjadi pahlawan bagi sang Nenek. Ibu itu mengaku anak dari nenek itu. Dengan segala cara, ibu itu berusaha menyudutkan kami yang berkendara kurang hati-hati. Tidak hanya itu, muncul bapak-bapak yang memakai kaos tentara (kayaknya juga anggota kepolisian, tetapi masih keluarga dengan ibu pahlawan itu).
Kami berkelakar, mungkin seperti ini (harusnya dalam bahasa Jawa):
"Ini ni ibuku, kenapa kamu tabrak?" kata ibu itu.
"Ya kan nenek ini tidak melihat ke arah jalan, tiba-tiba langsung nyebrang." kata Wijna
Neneknya mulai mengangkat suara
"Saya merasa jalanan sepi."
(Sama seperti waktu aku ditabrak ibu-ibu jalan dulu di Cepogo, alasannya sama persis, merasa jalanan sepi).
"Tuh, kan harusnya adik yang hati-hati! Di mana-mana, pejalan kaki itu selalu benar. Kalau adik yang menabrak mobil, mobil itu pasti salah" kata ibu itu lagi.
Jadi inget tentang "perundang-undangan tabrak menabrak". Yang kecil selalu benar, yang lebih besar selalu salah.
Setibanya bapak yang mengenakan kaos tentara itu, saya akhirnya mulai bicara, mencoba menjadi pihak yang netral walaupun menurut saya nenek itu yang kurang hati-hati. Tidak perlu berlama-lama, akhirnya kami memberikan sedikit uang (kalau menurutku itu banyak T.T) agar masing-masing dari kita tidak sakit hati.
"Nah, gitu. Kalau diberi nasihat orang tua itu kalian harusnya nurut. Ayo mas, mau mampir ke warung dulu enggak?" kata si ibu.
Tiba-tiba temperamennya berubah. Di awal, beliau mengaku sebagai anak dari nenek tersebut. Tapi di akhir setelah kami mengeluarkan uang, si ibu menjadi baik, menyuruh kami mampir, bahkan baru berkenalan dengan Nenek itu seraya berkata:
"Ibu dalemipun pundi?" (Ibu rumahnya di mana)
Dalam hati aku berkata, "Tadi ngakunya anaknya, tapi kok gak tau rumahnya."
Peristiwa tidak logis dalam masyarakat memang kerap kali terjadi. Tapi itu semua menunjukkan rasa kekeluargaan yang besar. Pembelaan semacam itu pernah saya jumpai waktu melalui daerah Cepogo-Selo. Di sana pun saya mengalami hal yang sama, bahkan mungkin lebih berbahaya karena saya menggunakan "Kepik Tempur" hitam yang berupa sepeda motor. Berangkat dari pengalaman itu, saya seharusnya bersikap tenang dan menghormati orang tua. Setidaknya, saya belajar dari pengalaman itu.
Karena kami tidak punya banyak waktu, akhirnya kami kembali menelusuri Jalan Kaliurang sore itu. Sore yang mulai menggelap. Lampu-lampu yang telah dinyalakan di kanan dan di kiri menghiasi perjalanan pulang kami. Sambil mengayuh sepeda kami masing-masing, kami mereview ulang peristiwa di kilometer 9 - 10 tadi.
Saya dibayarin sama mas Wijna. Gapapa lah, akhirnya kami meneruskan perjalanan pulang karena langit sudah mulai gelap. Sampai di Jalan Kaliurang km 9 - 10, terlihat sosok gemulai berjalan pelan. Siapa lagi kalau bukan orang. Nah, orang itu ternyata nenek-nenek yang berusia kurang lebih 60 tahun, sudah lebih dari separuh baya. Tanpa melihat ke arah belakang, nenek tersebut langsung menyeberang. Ketika kita berjalan menuruni jalan kaliurang, pasti lah roda kami berputar lebih cepat ketimbang ketika kita menaiki jalan kaliurang. Dengan menahan rem sedemikian rupa, mas Wijna masih menabrak nenek itu. Peristiwa itu tidak akan terjadi seandainya mungkin kita pulang agak terlambat atau nenek tersebut melihat ke arah jalan.
Peristiwa yang cukup ruwet ini menjadi tambah ruwet ketika ada seorang ibu-ibu di seberang jalan yang mendadak menjadi pahlawan bagi sang Nenek. Ibu itu mengaku anak dari nenek itu. Dengan segala cara, ibu itu berusaha menyudutkan kami yang berkendara kurang hati-hati. Tidak hanya itu, muncul bapak-bapak yang memakai kaos tentara (kayaknya juga anggota kepolisian, tetapi masih keluarga dengan ibu pahlawan itu).
Kami berkelakar, mungkin seperti ini (harusnya dalam bahasa Jawa):
"Ini ni ibuku, kenapa kamu tabrak?" kata ibu itu.
"Ya kan nenek ini tidak melihat ke arah jalan, tiba-tiba langsung nyebrang." kata Wijna
Neneknya mulai mengangkat suara
"Saya merasa jalanan sepi."
(Sama seperti waktu aku ditabrak ibu-ibu jalan dulu di Cepogo, alasannya sama persis, merasa jalanan sepi).
"Tuh, kan harusnya adik yang hati-hati! Di mana-mana, pejalan kaki itu selalu benar. Kalau adik yang menabrak mobil, mobil itu pasti salah" kata ibu itu lagi.
Jadi inget tentang "perundang-undangan tabrak menabrak". Yang kecil selalu benar, yang lebih besar selalu salah.
Setibanya bapak yang mengenakan kaos tentara itu, saya akhirnya mulai bicara, mencoba menjadi pihak yang netral walaupun menurut saya nenek itu yang kurang hati-hati. Tidak perlu berlama-lama, akhirnya kami memberikan sedikit uang (kalau menurutku itu banyak T.T) agar masing-masing dari kita tidak sakit hati.
"Nah, gitu. Kalau diberi nasihat orang tua itu kalian harusnya nurut. Ayo mas, mau mampir ke warung dulu enggak?" kata si ibu.
Tiba-tiba temperamennya berubah. Di awal, beliau mengaku sebagai anak dari nenek tersebut. Tapi di akhir setelah kami mengeluarkan uang, si ibu menjadi baik, menyuruh kami mampir, bahkan baru berkenalan dengan Nenek itu seraya berkata:
"Ibu dalemipun pundi?" (Ibu rumahnya di mana)
Dalam hati aku berkata, "Tadi ngakunya anaknya, tapi kok gak tau rumahnya."
Peristiwa tidak logis dalam masyarakat memang kerap kali terjadi. Tapi itu semua menunjukkan rasa kekeluargaan yang besar. Pembelaan semacam itu pernah saya jumpai waktu melalui daerah Cepogo-Selo. Di sana pun saya mengalami hal yang sama, bahkan mungkin lebih berbahaya karena saya menggunakan "Kepik Tempur" hitam yang berupa sepeda motor. Berangkat dari pengalaman itu, saya seharusnya bersikap tenang dan menghormati orang tua. Setidaknya, saya belajar dari pengalaman itu.
Karena kami tidak punya banyak waktu, akhirnya kami kembali menelusuri Jalan Kaliurang sore itu. Sore yang mulai menggelap. Lampu-lampu yang telah dinyalakan di kanan dan di kiri menghiasi perjalanan pulang kami. Sambil mengayuh sepeda kami masing-masing, kami mereview ulang peristiwa di kilometer 9 - 10 tadi.
- Mungkin apesnya kami bisa menabrak nenek itu. Salahnya, tidak ada jalur sepeda dan zebra cross di tempat kejadian. Who knows? God did.
- Melihat kostum yang dikenakan oleh si nenek, kami berasumsi bahwa pekerjaan nenek itu adalah buruh tani atau buruh angkut. Dengan membawa keranjang kosong yang berisi sebuah tas kresek dan botol minuman, saya merasa bahwa hari ini dia belum mendapatkan pekerjaan. Anggap saja uang tadi menjadi gaji sehari ini untuknya.
- Mungkin lebih baik kita menuruti kemauan mereka. Karena masyarakat desa akan membela warganya tanpa memperhitungkan kebenarannya seperti apa. Dengan berbincang-bincang sedikit, tanpa menunjukkan emosi, mungkin kita bisa mencari jalan keluar bersama. Walaupun akhirnya kami mengeluarkan sedikit uang, tapi saya rasa itu cukup daripada kami berurusan lebih jauh lagi. Ini bukan menyogok atau semacamnya, bisa saja kami mengeluarkan uang tersebut di awal dengan akibat kami dibilang orang kaya atau semacamnya pula. Mudah-mudahan uang itu akan menjadikan berkat buat nenek itu jika digunakan dengan sebaik-baiknya. Jika tidak, mungkin bisa berbalik menjadi kutuk karena telah menyalahkan kami yang muda ini.
Selanjutnya, hampir tiba di kosku, mas Wijna mengajak saya makan dulu. Sebelum makan, mas Wijna kangen berada di depan mesin atm di salah satu bank swasta. Saya mengajak Nanik untuk makan malam bersama karena kos dia tidak jauh dari tempat kami berada waktu itu. Kami makan di "Hollywood", bukan film tapi nama stan warung di depan pertanian UGM. Di sana kembali saya makan penyetan yang tidak dipenyet.
Setelah bayar-bayaran, kami pulang ke rumah kami masing-masing. Yah, sore yang ramai. Ramai sekali dengan banyak orang di jalanan, berkeliling menikmati Jogja di malam hari. Tidak salah kami keluar malam itu karena bisa berbagi kebahagiaan bersama orang yang telah kita kenal maupun baru kita kenal atau yang tidak kita kenal seperti pengamen dan peminta-minta. Bukan berharap apa-apa, tetapi doa mereka yang baik terkadang mendoakan kami sebagai anak muda, anak muda yang masih punya banyak impian dan harapan. Lampu-lampu malam itu seraya menghiasi perjalanan pulang kami.
Setelah bayar-bayaran, kami pulang ke rumah kami masing-masing. Yah, sore yang ramai. Ramai sekali dengan banyak orang di jalanan, berkeliling menikmati Jogja di malam hari. Tidak salah kami keluar malam itu karena bisa berbagi kebahagiaan bersama orang yang telah kita kenal maupun baru kita kenal atau yang tidak kita kenal seperti pengamen dan peminta-minta. Bukan berharap apa-apa, tetapi doa mereka yang baik terkadang mendoakan kami sebagai anak muda, anak muda yang masih punya banyak impian dan harapan. Lampu-lampu malam itu seraya menghiasi perjalanan pulang kami.



No comments:
Post a Comment