Saturday, February 13, 2010

Tahun Baru Imlek 2561 (Lunar Calendar) sekaligus Valentine 2010 (Masehi Calendar)

Di saat-saat menjelang tahun baru, ada beberapa peristiwa yang saya alami. Beberapa itu mungkin bisa diceritakan dalam beberapa sekuel. Beberapa sekuel itu mungkin bisa ditulis dalam notes ini. Cerita bermula dalam perjalanan pulang menuju kota Harapan, yaitu Magelang.

  1. Chapter 1 -Way to Home-

    Hari Kamis 11 Februari 2010 adalah sebenarnya hari di mana saya berjanji kepada mamah untuk pulang ke rumah. Berhubung ada kesibukan hari itu, akhirnya saya beranjak pulang menuju rumah bersama Kepik Tempur pukul 20.00 WIB alias jam delapan malam. Hawa dingin terasa memenuhi seluruh badan. Hanya dengan berbekal uang Rp50.000,00 saya pulang ke rumah dengan mata sedikit sayup-sayup menahan kantuk. Akhirnya saya berpikir untuk menghitung sesuatu yang bisa dihitung dari kos (rumah kontrakan) sampai rumah.

    Saya memutuskan untuk menghitung lampu lalu lintas yang tersebar di jalan protokol Jogja-Magelang yang tentu saja terbentang dari kos sampai rumah. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam (nggak mungkin dink, soalnya pas satu jam saya sampai di rumah), saya meniti karir di Jalan Magelang km. ... untuk menghitung berapa hiasan sekaligus aturan kota-kota yang akrab dipanggil dengan bangjo itu. Ternyata, ada 13 buah bangjo yang saya lewati hingga tiba di rumah dengan selamat malam itu. 4 di antaranya saya harus berhenti karena bangjo menyala merah dengan ganasnya.

    Sesampainya di rumah, saya bercerita kepada adik saya yang ada di rumah. Saya memberitahu dia kalau saya telah melewati 13 rintangan yang ada di sepanjang jalan kos hingga rumah sehingga saya bisa tiba di rumah dengan kondisi tanpa kurang suatu apa pun (kayak pidato aja). Berhubung ngantuk, tak lama setelah menikmati hidangan malam saya pun tidur.
  2. Chapter 2 -Road to Semarang-

    Keesokan harinya, tanggal 12 Februari 2010 tentunya adalah hari bersih-bersih rumah. Hal ini mungkin terpaksa keluarga kami lakukan karena rumah akan ditinggal sendiri selama kurang lebih tiga hari ke Semarang. Dan betul, sekitar jam dua siang kami meninggalkan rumah ini menuju ke Semarang via Temanggung dulu. Lho, kok lewat Temanggung? Karena mama sekalian mau nganter jahitan di Parakan buat acara nikahan orang.

    Sesampainya di Parakan, tentu saja kami harus bertanya kepada penduduk sekitar tentang rumah yang akan dituju. Dari SMS, mama hanya diancer-anceri untuk belok di tikungan pertama ke kiri setelah terowongan sebelum masuk kota Parakan. Kami pun akhirnya menemukan tikungan kecil menuju ke TKP. Selanjutnya untuk memastikan rumah pemilik baju itu sesungguhnya, kami pun harus bertanya kepada penduduk sekitar. Dari depan hingga lapangan kecil di tengah perumahan itu, tidak ada satu pun orang yang kelihatan batang kumisnya. Hanya ternyata ada satu orang yang berdiri di tengah lapangan. Ngapain? Yang jelas dia tidak berkhotbah di sana, tetapi membersihkan taman itu dengan sapu yang berbentuk mirip dengan Nimbus milik Harry Potter.

    Saya disuruh bertanya sama orang itu. Kemudian saya turun dari mobil dan menghampiri orang itu.

    "Pagi pak, boleh saya bertanya? Rumah Pak M*** di mana ya?" tanya saya.
    "Oh yang kecil itu? Coba tanya Pak A*****," jawabnya.

    Karena saya agak kurang dong maksudnya apa, saya bertanya lagi...

    "Itu loh, Pak M*** rumahnya di mana? Sepertinya di daerah sini." tanya saya lagi.
    "Iya, yang kecil itu kan? Coba tanya Pak A***** di sana," jawabnya.

    Itu juga sebenarnya saya menduga-duga omongan orang itu, karena omongan orang itu sepertinya tidak begitu jelas. Akhirnya saya kembali ke mobil dan berkata, 'Mah, orang itu ndak tahu rumahnya Pak M***. Sepertinya budeg (mohon maaf). Tak lama, SMS dari pemilik baju itu datang, katanya rumah dengan nomor 38. Dan ternyata betul, rumah itu tidak jauh dari lapangan kecil di tengah perumahan itu. Usut boleh usut, ternyata orang tadi benar-benar tuli total. (Haha, emang ada ya tuli parsial). Saya jadi merasa bersyukur karena diberi kelengkapan anggota badan dan saraf sehingga saya masih bisa menulis notes ini.

    Transaksi pun terjadi, sehingga kami pun melanjutkan perjalanan dengan makan siang di rumah makan aneh bernama Sari Ayam. Mengapa aneh? Karena saya baru tahu kalau pajak pembangunan itu tertulis di nota dan bukannya menambah biaya yang harus kami keluarkan tetapi malah menguranginya. Gimana enggak, dengan makan soto dan minuman, harusnya kami membayar Rp55.500,00. Kemudian dengan pajak Rp4.000,00 yang tertulis di bawah jumlah harga, bukannya seharusnya Rp59.500,00 malah Rp49.500,00. Dapet korting sepuluh ribu rupiah.

    Selesai bertransaksi aneh itu, kami meneruskan perjalanan ke Semarang lewat Pringsurat. Hari itu mendung dan turunlah hujan. Karena kami naik mobil, kami tidak kehujanan. Tenang saja.
  3. Chapter 3 -Semawis I-

    Seperti biasanya, kalau ke Semarang, mama selalu pingin ke Semawis. Di lain notes, saya akan menceritakan lebih lanjut tentang Semawis ini (menurut Peta Lokasi Semawis yang saya temukan di meja di dekat klenteng Tay Kak Sie gang Lombok. Yang menarik bagi saya malam ini adalah sebuah Stan bertuliskan "Ramalan Jodoh, Peruntungan, Hong Shui, dll (tidak bisa saya sebutkan satu persatu karena lupa apa aja yang tertulis di sana) hanya dengan melihat wajah." Sepertinya menarik. Di dalamnya ada om om yang sudah cukup usia dan juga ada customer yang datang untuk mencoba mengetahui nasibnya. Stan yang berwarna merah dan dihiasi tulisan serta sedikit ornamen itu memang terlihat dari luar. Tampak pula kotak yang ada lubangnya dan ada tulisan "Sukarela". Orang itu sepertinya memang orang baik (mungkin aliran Tao) yang bisa melihat kedalaman hati orang lain.

    Berhubung saya orang yang mungkin tidak baik, saya langsung ngomong sama mama.

    "Mah, liat yuk om yang ngramal itu."
    "Nopo to?"
    "Itu lho, ada kotak Sukarela."
    "Lha terus napa?"
    "Haha, nek kita ngasih cuma lima ribu mungkin ramalane kurang bagus. Nek kita ngasih lima puluh ribu mungkin ramalane yang bagus bagus."
    "Misale gini, ada orang dateng trus ngasih Rp5.000,00. Om'e tadi terus bilang,'hmmm, kayaknya besok kamu kesandung kucing lewat, habis itu kepleset sapu di pinggir jalan.' Berhubung dengar yang sepertinya gak memuaskan, akhirnya orang itu ngasi uang Rp50.000,00. Terus om'e tadi bilang gini,'sek sek bentar dulu, kayake gak jadi sial. Kalo lewat jalan lain bakal nemu duit bla bla bla...'."
    "Ngawur ik..."

    Hahaha ngawur aja.
  4. Chapter 4 -Makan makan-

    Menu apa aja yang dimakan?
    -Ayam goreng
    -Bakso
    -Pangsit goreng
    -Ca kangkung
    -Mihun kecap jamur
    -Sop Hisit
    -Ca putih telur pete
    Semua bikinan sendiri, dengan tiga piring saya bisa menyantap makanan itu semua.
  5. Chapter 5 -Semawis II-

    Kok dua kali ya pergi ke Semawis? Yang kedua ini lebih rame soalnya kedatengan tante dari Magelang. Menyambut Imlek, lokasi di Semawis ini memang sudah didekorasi sedemikian rupa untuk pameran-pameran Imlek. Dekorasi dengan panggung berbentuk kapal ini sudah ada sejak tanggal 10 Februari. Ada beberapa tempat yang bisa dikunjungi termasuk di dalam klenteng.

    Di sana, kita bisa menikmati sajian makanan ala negeri Tirai Bambu seperti Dim Sum, Siomay, Sate B2, sampai pisang gepeng, jamur krispi dan minuman miecool yang bersifat umum. Selain stan makanan, ada juga karaoke. Di sana saya mendengar lagu dangdut sedang diputar, dan ada om tante yang menari-nari.

    Mulai dari tanggal pembukaan pameran hingga terakhir hari ini, ada pameran tentang Gusdur dan kaum Tiong Hoa.

    Di sisi lain di gang Lombok, ada pameran berhiaskan panggung kapal. Acara pameran ini disponsori oleh salah satu perusahaan rokok ternama di Indonesia. Saya malah bertemu teman lama saya waktu SMP dulu. Dia jadi freelance di Tolak Angin yang turut membuka stan di pameran itu. Tidak lupa saya dan adik saya mengambil gambar di sana.

    Salah satunya di dalam klenteng. Ada seorang bikhuni yang menyanyi lagu TiongHoa dan membunyikan gong kecil. Orang itu menyanyikan lagu untuk menarik perhatian pengunjung klenteng. Tampak ada yang melakukan ibadah, ada yang berfoto di beberapa sudut klenteng. Ketika masuk, tampaklah arca Buddha Gautama dengan hiasan oriental di sana-sini. Di depan altar itu, ada tempat untuk meletakkan dupa (yongsoa). Kemudian di sisi kiri, ada lilin-lilin yang sengaja dikomersialkan untuk ibadah. SUasana merah oriental mewarnai malam tahun baru Imlek di klenteng dan pameran.

    Seperti biasa, malam tahun baru disambut dengan hujan yang konon membawa rejeki di tahun macan. Akan tetapi, hujan tidak menghalangi pengunjung yang datang ke sana. Semakin larut, pengunjung yang bukan berkeyakinan Kong Hu Cu mulai pulang. Ada pula yang baru datang untuk melakukan ibadah sembahyangan di Klenteng menyambut tahun baru Cina itu.
Demikianlah sedikit cerita tentang Tahun Baru Imlek 2561 yang saya alami di sini. Moga-moga tahun yang baru ini mendatangkan rejeki dan pertobatan buat saya. Amin.

No comments:

Post a Comment

author
Yacob Ivan
Indonesian, Mathematician, Business Analyst, Android Developer, History-traveller | http://www.yacob-ivan.com